Senin, 23 Desember 2013

Lebih Dari Sekedar Ucapan

Seperti diisyaratkan di dalam Al Qur’an bahwa dunia ini diciptakan penuh dengan perbedaan dan keberagaman. Begitu pula di negeri kita tercinta indonesia. Disini banyak suku bangsa, banyak bahasa, agama dan lain sebagainya. Dan karenanya, suka atau tidak suka, kita mesti menerima hal itu. Kita mesti bisa hidup secara berdampingan tanpa ada prasangka dan curiga. Alangkah indahnya jika kita bisa mengembangkan sikap toleran. Sikap yang saya pahami sebagai sikap saling menghargai nilai-nilai yang dianut masing-masing pengikutnya. Saling menghormati dan memahami, bukan satu sama lain saling mengikuti.
Contohnya pada setiap perayaan hari besar agama. Misalnya pada saat Natal. Sepanjang yang saya ketahui, atas dasar berbagai pertimbangan, Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan haram bagi umat Islam yang mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani. Konsukwensinya, sebagai muslim saya akan mengikuti fatwa para ulama yang saya yakini keilmuan Islamnya.
Hanya masalahnya adalah saat ini berkembang opini di masyarakat bahwa jika kita tidak saling mengucapkan selamat pada hari besar keagamaan, maka kita akan distigmakan fanatik dan intoleran. Saya merasakan hal itu. Dan jujur saya, kadang juga terbersit dihati rasa engga enak kepada teman-teman yang tidak seakidah jika tidak mengucapkan selamat hari raya kepada teman saya itu.
Tapi lama kelamaan saya bisa memahami keputusan fatwa MUI itu. Setahu saya MUI adalah sebuah lembaga independen Islam yang beranggotakan para ulama yang berasal dari beragam organisasi islam di Indonesia. Saya yakin, keputusan yang mereka hasilkan adalah demi kebaikan pengikutnya.
Dengan tidak mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain, itu adalah pengejawantahan dari wujud keimanan seseorang. Karena setiap agama memiliki klaim kebenarannya masing2 yang rasanya mustahil untuk dipertemukan.
Dan bagi saya, itulah makna sebenarnya dari toleransi. Lagipula, persahabatan itu terlalu rendah jika hanya dinilai dari sebuah ucapan saja. Karena apalah artinya ucapan jika perbuatannya malah saling menyakiti. Toh juga, mereka bisa bebas merayakan hari besarnya itu dengan suka cita. Kita bisa saling tukeran kue atau makanan. Kita bisa saling tolong menolong. Kita bisa bergandengan tangan dan bekerja sama dalam banyak hal. Kita bisa saling bahu membahu dalam urusan kemanusiaan. Dan selama ini hubungan pertemanan itu baik-baik aja kan ?
Jadi saya fikir, sepertinya tidak tepat jika saling mengucapkan selamat hari raya itu menjadi tolak ukur sikap toleransi. Pertanyaannya bukan “ Mengapa kamu tidak mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain ?” Tetapi mestinya adalah “Mengapa saya harus mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain ?” Karena setiap agama punya aturannya masing2. Dengan saling mengembangkan sikap saling toleransi, maka kita bisa dengan nyaman hidup berdampingan.

Emeng-emeng soal toleransi, ingatan saya melayang ketika saya masih duduk dibangku SMP. Saat itu kita baru saja pulang dari kegiatan eskul renang di senayan. Seperti biasa, setiap sore saya mengantarkan koran terbitan sore di komplek Perumahan Dinas Kepolisian Komdak. Ketika itu, Paul teman SMP ingin ikut saya. Karena nanti memang kita searah pulangnya ke rumah dengan menggunakan bus kota yang sama.
Setelah koran telah selesai saya antarkan semua, saya bilang ke paul kalau saya ingin shalat ashar dulu di mesjid yang ada di dalam komplek tersebut. Khawatir tidak terkejar jika memaksakan shalat ashar di rumah. Maklum. Sore hari pasti macet karena waktunya pulang kerja.
Paul, yang beragama nasrani dan yang juga sudah berteman semenjak dari SD itu mempersilahkan saya sholat. Ia hanya  bilang, “ lu engga lama kan ya”. Setelah saya jawab paling sekitar 5 menitan, dia lalu berkata lagi, “ ya udah, gue tunggu diluar ya.”
Begitulah indahnya bila kita saling menghormati regulasi yang berlaku pada keyakinan masing-masing. Betul memang kita berteman. Namun lantas tidak membuat kita saling mengikuti ajaran agama masing-masing. Kita hanya tahu dan membiarkan beribadah masing-masing. Se-simple itu saja.
Dan akhir kata, khususnya kepada sahabat-sahabat yang tidak seiman, saya mengucapkan selamat ....... saling memahami nilai kebenaran masing2. He..he... ( untung tidak salah ketik ). 


Bandung, 24 Desember 2013

Minggu, 22 Desember 2013

Kebaikan Itu Universal

Kisah ini terjadi sekitar pertengahan tahun 2012. Yaitu ketika saya menemani teman menjemput tamu dalam rangka urusan kerja ke airport Jakarta. Kami berangkat dari bandung sekitar jam 6 pagi dengan mengendarai isuzu panther. Semua awalnya berjalan lancar. Hingga beberapa saat setelah melewati gerbang tol, teman saya menghentikan kendaraan yang kita naiki. Ia bilang seperti ada yang tak beres di kap depan.
Benar saja. Aki depan bocor karena terkena kipas. Ini bisa terjadi diakibatkan sekrup pengunci dudukan aki lepas hingga membuat aki bergeser dari posisinya. Ya sudah, kita lalu pergi menuju rest area terdekat. Berharap ada yang menjual aki atau ada orang yang mengerti dan bisa menbantu.Ternyata nihil. Namun kita disarankan oleh security untuk keluar di gerbang terdekat, yaitu daerah purwakarta.
Untungnya daerah yang dimaksud tidak terlalu jauh. Keluar dari pintu tol, kita sebarkan pandangan untuk mencari bengkel yang buka. Dan hasilnya juga nihil. Wajar saja. Selain karena saat itu adalah hari minggu, waktu juga masih menunjukan pukul 7 pagi.
Teman saya mulai khawatir. Karena cairan aki itu terus keluar. Jika kondisi ini belum bisa teratasi, besar kemungkinan kita tidak bisa meneruskan perjalanan ke jakarta. Saya mengusulkan untuk bertanya saja kepada supir angkot. Didapatlah jawaban jika di dekat pasar ada toko yang menjual aki dan perlengkapan mobil. Tanpa pikir panjang, kita meluncur kesana. Dan akhirnya ketemu.
Sayang sungguh sayang toko masih tutup. Saya lalu ketuk pintu toko tersebut. Lama tak ada jawaban. Saya lalu bergeser ke toko sebelahnya yang pintunya terlihat buka. Ada seorang laki yang keluar dan mengatakan bahwa biasanya toko itu akan buka sekitar setengah jam lagi.
Ya sudah, teman saya pun memarkirkan mobil di depan toko tersebut. Sambil menunggu, kita sarapan dulu. Dan akhirnya sang pemilik toko datang sambil mengendarai sepeda. Alhamdulillah. Kami pun berdua menghampiri bapak keturunan cina itu dan menyampaikan keperluan kami.
Barangnya ada, tapi amperenya tidak. Ukurannya masih dibawah yang semestinya untuk mobil isuzu panther. Saya sendiri tidak mengerti soal mobil. Hanya kata pedagang dan teman saya, jika ingin diganti, akan berpengaruh pada kemampuan mobil dan hanya sementara saja. Harus diganti dengan aki yang amperenya sesuai kebutuhan.
Setelah dihitung-hitung, rasanya sayang jika harus mengeluarkan uang sebanyak itu tapi hanya dipakai beberapa saat. Mungkin melihat kami bingung, si bapak yang usianya sekitar 40 tahunan itu menawarkan sebuah solusi. Ia lalu mengambil lilin, membakarnya dan kemudian menambal aki mobil kami yang bocor. Setelah dirasa beres dan aki dipasang kembali pada posisi semula, mobil dinyalakan kembali. Alhamdulillah, mobil menyala.
Bapak itu mengatakan sebaiknya jika sudah sampai bandung lagi, lebih baik aki itu diganti. Karena 1 dari 3 rongga yang berisi cairan aki telah kosong. Biasanya akan berpengaruh pada kemampuan. Dan sebelum kami melanjutkan perjalanan kembali menuju jakarta, kami berniat membayar ongkos tambal aki tersebut. Diluar dugaan, bapak itu tak mau menerima. Kami coba memaksa dengan meletakkan uang di meja toko. Tapi uang itu diambilnya dan diserahkan kembali pada kami. Harus saya akui memang secara nominal, uang yang kami berikan tidak banyak. Tapi saya pikir itu cukup untuk mengganti biaya tambal aki. Ternyata tetap tidak mau.
Luar biasa. Diperjalanan, teman saya bilang kita lagi beruntung. Biasanya jika menghadapi situasi kepepet seperti itu, ada saja orang yang memanfaatkannya yang tujuannya adalah uang. Tapi bapak tadi sungguh2 sangat baik. .
Bagi saya, kejadian ini mengandung hikmah yang mendalam. Bapak yang menolong tadi adalah keturunan cina. Saya yakin, dia tahu kalau antara kita “berbeda”. Tapi saya melihat perbedaan itu tidak mempengaruhi bantuannya kepada kami.
Sebagai muslim, konsep tolong-menolong sudah sangat jelas. Reward-nya pun menggiurkan. Bahkan, ada sebuah keterangan yang mengatakan bahwa setiap pagi kita dianjurkan untuk bersedekah. Dan jujur saya mengakui bahwa saya tidak tahu bagaimana konsep itu dalam keyakinan bapak yang baik hati itu. Yang jelas, di pagi itu bapak berhati tulus itu telah melakukannya.
Kebaikan itu universal. Sudah semestinya memang perbuatan baik itu tetap dilakukan tanpa harus melihat apa dan siapa dia. Saya lalu teringat sebuah kisah yang kalau tidak salah dari Emha Ainun Najib. Ceritanya tentang orang yang ingin menolong, tapi ingin tahu dahulu siapa yang ingin dia tolong.
Di sebuah jalan raya, ada kejadian tabrak lari. Lalu ada seseorang yang mendekati korban.
“ Mas namanya siapa ?” tanya orang tanya ketika dekat korban. Ia melihat darah keluar dari kepala korban.
“ Saya Selamet pak... tolong saya pak.. tolong.”
“ Kamu islam apa kristen ?”
“ Islam pak “
“ Muhammadiyah atau NU ?”
“ NU” jawabnya dengan nafas yang sudah terdengar payah
“ PPP atau PKB ?”
Memprihatinkan sekali ya? Bisa2 si korban menjadi tidak seselamet namanya :D. Memang, bisa jadi kisah ini fiktif adanya. Tapi mungkin saja, sadar atau tidak, seringkali hal2 itu menjadi pertimbangan saat kita menolong seseorang.
Sebelum saya menutup kisah ini, saya ingin memberitahukan bahwa setelah 1 tahun lebih, aki itu masih tetap di mobil itu. Hingga 2 bulan lalu aki itu tidak diganti, sebelum mobil isuzu panther itu dijual karena memang sudah cukup tua dan diganti dengan mobil yang baru. Entahlah, saya dan teman saya pun bingung mengapa aki itu masih tetap bisa berfungsi optimal. Wallahu A’lam..


Bandung, 20 Desember 2013